Pemilu di Swiss yang berlangsung empat tahun sekali hanya memilih 200 anggota parlemen untuk menjadi dewan nasional. Juga, memilih dewan negara yang terdiri atas 46 anggota yang mewakili 26 kanton. Berikutnya, anggota parlemen tersebut memilih tujuh orang di antara mereka sesuai dengan kesepakatan untuk dijadikan anggota kabinet atau menteri. Tujuh orang itulah yang secara bergiliran menjadi presiden dan wakil presiden sesuai dengan kesepakatan. Bukan berarti presiden dan wakil presiden lebih tinggi daripada yang lain. Tetapi, sifatnya hanya mewakili, terutama untuk keperluan hubungan luar negeri.
Pemilu Swiss untuk memilih 200 anggota parlemen dihelat Minggu lalu (18/10). Menjelang pemilu Swiss, sebuah negara yang berbatasan dengan Prancis, Jerman, dan Italia tersebut, Ada ribuan calon anggota legislatif (caleg) di sana, terutama di kanton Bern, yang notabene merupakan ibu kota Swiss. Menurut aturan Komisi Pemilihan Swiss, seorang caleg minimal berumur 18 tahun dengan alasan batas usia sudah dewasa. Namun, faktanya, selama ini jarang ada caleg yang berumur 18 tahun. Rata-rata, yang sudah resmi menjadi caleg minimal berusia 20 tahun. Setelah resmi menjadi caleg pun, berbagai persiapan menjelang pemilu. Tentu saja soal kampanye untuk mendulang suara.
Namun, karena aturan kampanye di Swiss menyatakan tidak ada pengerahan massa, hanya mengikuti jadwal kampanye partainya, yang sekadar melakukan dialog dan pemasangan foto. Itu pun, hanya bertugas membuat konsep-konsep tentang pelayanan publik di Swiss tanpa harus memaparkannya secara langsung kepada para calon pemilih. Kampanye dan pemilu di Swiss berlangsung tanpa hiruk pikuk, berbeda dengan yang umumnya terjadi di negara lain, termasuk Indonesia. Seperti yang disaksikan di beberapa TPS (tempat pemungutan suara), warga dengan santai dan tertib memberikan suara untuk calon anggota parlemen. Pemerintahan yang menganut sistem demokrasi langsung federal parlementer membuat atmosfer persaingan partai maupun calon anggota parlemen tidak begitu terasa.