Jika tidak ada aral melintang, akhir tahun 2015 akan digelar hajat politik akbar di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) berupa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secaran simultan (serentak) di enam kabupaten/ kota dan satu provinsi, masing-masing: Kabupaten Bintan, Lingga, Karimun, Kepulauan Anambas, Kota Batam, Kabupaten Natuna, dan Provinsi Kepri. Artinya, pada hari dan waktu yang sama masyarakat di Provinsi Kepri akan memilih Gubernur/ Wakil Gubernur, Bupati/ Wakil Bupati dan Walikota/ Wakil Walikota secara serentak di daerah masing-masing.
Apabila pilkada simultan dapat dilaksanakan di Provinsi Kepri, terdapat beberapa keuntungan yang bisa dipetik. Pertama, efisiensi anggaran, waktu dan teknis pelaksanaan. Pilkada simultan akan sangat menghemat anggaran. Karena pemilihan gubernur dan bupati/walikota dilaksanakan secara bersamaan, dalam hal ini pada hakikatnya terjadi sinergis (saling topang) pengadaan anggaran antar kabupaten/kota dan provinsi untuk pelaksanaan pilkada secara simultan. Anggaran pilkada simultan akan terasa lebih ringan karena dipikul secara bersama-sama. Lain halnya apabila pilkada dilaksanakan secara terpisah (sendiri-sendiri), tentunya mau tak mau akan membutuhkan anggaran tersendiri pula bagi daerah masing-masing.
Efisiensi waktu juga akan dapat dilakukan, karena pemilihan gubernur dan bupati/walikota dilangsungkan pada waktu dan hari yang sama. Permasalahan waktu dalam pilkada perlu dicermati sedemikian rupa, sebab jangan sampai terlalu banyak waktu berusaha masyarakat terbuang hanya gara-gara proses politik yang berkepanjangan. Apalagi kalau selama ini mekanisme pilkada mengadopsi pilpres dalam bentuk dua putaran dan pilkada tidak dilakukan secara simultan, dengan sendirinya akan sangat mengurangi waktu berusaha masyarakat dalam mencari nafkah.
Kedua, menghindari mobilisasi massa pemilih. Mobilisasi massa pemilih antar kabupaten/kota dalam pilkada langsung merupakan faktor yang perlu diantisipasi. Mobilisasi massa pemilih dari satu kabupaten/kota ke kabupaten/kota yang lain untuk mendukung calon kepala daerah tertentu kemungkinan bisa terjadi apabila pemilihan bupati/walikota dilaksanakan secara sendiri-sendiri pada waktu yang berbeda. Tetapi pada pilkada simultan, mobilisasi massa pemilih kecil kemungkinan akan terjadi. Sebab massa pemilih dari kabupaten/kota tertentu pada hari pencoblosan dituntut agar tetap berada di daerahnya, karena harus memberikan suara untuk memilih bupati/walikotanya sendiri.
Ketiga, sinkronisasi permanen agenda pilkada di masa depan. Pilkada simultan akan menjadi “starting point” untuk sinkronisasi permanen agenda pilkada di masa yang akan datang. Karena para kepala daerah telah dipilih secara simultan oleh rakyat, tentunya masa berakhirnya jabatan mereka juga akan bersifat simultan (bersamaan). Dengan sendirinya akan terjadi sinkronisasi agenda pilkada lima tahun berikutnya dan berikutnya lagi. Sehingga efisiensi-efisiensi yang diuraikan di atas tidak saja bisa dipetik untuk pilkada simultan pertama, tetapi juga untuk pilkada-pilkada selanjutnya.
Keempat, mereduksi faktor psikologi panik politik publik. Bagi sebagian masyarakat kita sampai saat ini, setiap agenda politik seperti pemilu dan tentu juga pilkada langsung, senantiasa dikonotasikan sebagai proses politik yang rentan dan potensial menyulut konflik (kerusuhan). Sehingga tidak jarang banyak warga masyarakat yang merasa was-was bahkan mengalami panik politik dalam menghadapi setiap proses politik yang menyebabkan mereka fobia terhadap politik. Pilkada simultan dengan sendirinya akan dapat mereduksi (mengurangi) even-even politik dimaksud, sehingga juga akan dapat mengurangi frekuensi rasa was-was dan panik masyarakat.
Kelima, membangun etika politik elite. Pilkada simultan akan memetakan segmentasi para elite yang ingin bertarung dalam ranah politik pilkada. Dalam konteks ini menjadi jelas, elite-elite yang mencalonkan diri sebagai bupati/ wakil bupati, walikota/ wakil walikota dan elite-elite yang bertarung memperebutkan kursi gubernur/ wakil gubernur. Pada pilkada simultan tidak mungkin terjadi duplikasi pencalonan elite sebagai calon bupati/walikota dan sekaligus sebagai calon gubernur karena waktu pemilihan bersamaan. Lain halnya apabila pemilihan bupati/walikota terpisah dengan pemilihan gubernur. Elite yang kalah pada pemilihan bupati/walikota bisa saja mencalonkan diri kembali pada pemilihan gubernur atau sebaliknya. Sudah barang tentu hal seperti ini kurang etis secara politik.
Dari uraian di atas dapat kiranya kita pahami bahwa pilkada simultan di Provinsi Kepri akan memberikan kemanfaatan yang cukup signifikan. Namun demikian, kebijakan ini tetap mengidap persoalan pada tataran pelaksanaan politik praktis. Dari perspektif dukungan politik, apabila gabungan parpol yang mendukung calon gubernur/ wakil gubernur di tingkat provinsi tidak paralel dengan gabungan parpol pendukung calon bupati/ wakil atau walikota/ wakil walikota, maka akan sulit melakukan kampanye paralel secara politis di tingkat provinsi.
Sebagai solusinya, tidak tepat mengeksploitasi sentiment parpol di panggung kampanye, akan lebih bijak meneriakkan popularitas, kapasitas dan kompetensi figur (pasangan calon) sebagai isue dan materi kampanya. Peran parpol cukup sebagai tiket politik belaka untuk memasuki arena politik pilkada bukan sebagai mesin politik untuk menggugah sentiment politik para pemilih. Lagian, dari banyak pengalaman even pilkada, parpol memang “sulit dipercaya” sebagai mesin politik untuk menangguk suara pemilih sebanyak-banyaknya. Wallahualam! ***BatamPos