Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) masih tarik ulur soal revisi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2014. Salah satu poin revisi yang diajukan fraksi-fraksi di DPR adalah soal sistem paket calon kepala daerah.
Dalam Perppu yang diajukan Presiden Susilo Bambang Yudoyono tersebut, calon kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak menjadi satu paket. Namun, fraksi di DPR menyatakan keberatan soal paket calon kepala daerah tersebut.
Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Hermanto mengatakan dalam pembahasan soal pilkada dulu, soal paket atau tidak paket juga sempat ramai. Namun, saat itu sudah ada kesepakatan antara pemerintah dengan DPR terkait hal ini.
"Dulu masalah paket tidak paket sudah disepakati antara pemerintah dan DPR untuk tidak paket," kata Agus Hermanto.
Namun, kalau saat ini soal paket dan tidak paket kembali dipermasalahkan lagi, imbuh Agus, Demokrat menyerahkan pada DPR sepenuhnya untuk dibahas. Kalau ada revisi soal Perppu ini apakah akan merubah sistem tidak paket menjadi paket, harus butuh persetujuan dari seluruh fraksi di DPR.
"Kalau mau direvisi, asal tidak mengganggu tahapan Pilkada ya silakan saja," imbuh dia.
Bagi Demokrat, kata Wakil Ketua DPR RI itu, yang paling esensi dari Perppu pilkada adalah soal pemilihannya yang secara langsung degan 10 perbaikan. Sebab, Perppu dengan 10 perbaikan itu dikeluarkan untuk memerbaiki pilkada langsung yang masih banyak kekurangan dan kurang sempurna.
Fraksi Partai Golkar dan Gerindra berencana menghapus pasal soal uji publik dalam Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah. Uji publik dianggap memperpanjang tahap penyelenggaraan pilkada, ajang kampanye hitam, dan menyulitkan calon.
"Uji publik cuma buat ricuh. Golkar tak mau kalau cuma buat begitu. Seharusnya bisa diuji dari partai pengusung saja," kata Ketua Komisi Pemerintahan sekaligus politikus Partai Golkar, Rambe Kamaru Zaman, saat dihubungi, Senin, 26 Januari 2015. Wakil Ketua Umum Partai Golkar versi Musyawarah Nasional Bali, Ade Komarudin, mengatakan hal serupa. "Kita potong saja mata rantai money politic itu. Dengan pilkada langsung, semua orang menguji dia, tak perlu uji publik," kata Ade saat ditemui di Hotel Sultan kemarin. (Baca: Uji Publik Pilkada Jadi Bahan Debat Kusir Lagi)
Golkar berharap pemotongan tahap uji publik bisa mempersingkat proses pilkada. Pasalnya, dalam undang-undang disebutkan uji publik dilakukan dalam waktu paling lambat tiga bulan sebelum pendaftaran calon gubernur, bupati, dan wali kota. "Pembentukan uji publik satu setengah bulan dan uji publik selama tiga bulan. Usulan calon dari daerah setuju uji publik memakan waktu. Jangan sampai pembentukan uji publik memperlama pilkada," katanya.
Rambe menilai uji publik juga tak berwenang meluluskan calon. "Di mana kewenangan tim uji publik untuk meluluskan atau tidak? Cuma sertifikat. Relevansinya apa? Lebih baik serahkan pada parpol yang tahu calonnya atau pada KPU lewat debat terbuka," kata Rambe. (Baca: Golkar Persoalkan Lagi Paket Calon Bupati-Wabup )
Anggota Komisi Pemerintahan Partai Gerindra, Ahmad Riza Patria, mengatakan uji publik bersifat rancu. "Sifatnya banci. KPU yang punya kewenangan, bukan uji publik," katanya.
Menurut dia, KPU berwenang meloloskan dan memvalidasi data, serta kompetensi calon. "Memang tujuannya baik, untuk mengukur kompetensi, tapi wewenang itu bisa dikasih ke parpol atau KPU," ujarnya.