Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi pendukung Jokowi-JK akan kembali bertarung memperebutkan kursi ketua MPR. Kedua kubu masih dengan kekuatan yang sama seperti saat pemilihan pimpinan DPR pada Kamis (1/10) lalu. Bedanya, kedua kubu kini mendapat tambahan kekuatan dari DPD.
Pemilihan pimpinan MPR dilakukan dengan sistem paket. Satu paketnya terdiri dari seorang calon ketua dan empat wakil ketua. Paket ini juga harus terdiri dari satu fraksi DPD dan empat fraksi parpol yang berlainan.
Masing-masing kubu mengklaim sudah menggandeng DPD, tentunya dengan strategi berbeda. Koalisi pendukung Jokowi menempatkan perwakilan DPD sebagai calon ketua MPR. Sementara KMP, jika tak ada perubahan, mengusung tokoh Partai Demokrat (PD) sebagai calon ketua MPR dan seorang senator sebagai calon wakil ketua MPR.
Dengan strategi itu, siapa yang akan lebih unggul?
KMP ditambah PD, memiliki 352 kursi atau 50,8% kekuatan di MPR. Dengan persentase itu, koalisi pendukung Jokowi plus seluruh anggota DPD pun tak akan bisa menang, tentu jika pemilihan digelar lewat voting.
Kekuatan koalisi pendukung Jokowi hanya memiliki 208 kursi atau hanya 30% kekuatan di MPR. Kalaupun ditambah seluruh kursi di DPD, kekuatan koalisi Jokowi menjadi 49,2% atau 340 kursi MPR. Total kursi di MPR yaitu 692 kursi.
Tentu saja koalisi Jokowi sulit berharap DPD akan solid memberikan suara untuk mereka. DPD terdiri dari individu-individu yang tak diatur oleh parpol, sehingga bisa bebas bermanuver. Dengan adanya perwakilan DPD di kubu KMP, maka potensi suara pecah sangat besar.
Satu-satunya cara koalisi Jokowi untuk menghadang KMP di pemilihan MPR ini adalah dengan merangkul DPD secara utuh, sehingga tak ada satupun senator yang mau ikut dicalonkan sebagai pimpinan MPR oleh KMP. Jika itu terjadi, maka KMP akan tak bisa melengkapi paketnya. Namun seperti yang sudah disebut di atas, bukan tak mungkin, namun sangat sulit mengharapkan tak ada kader DPD yang mau ikut dengan KMP.
Sumber: Detik
