Helatan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak tahun 2015 di tanah air terancam berkualitas rendah dari sisi proses dan produk. Kondisi tersebut tidak terlepas dari skenario kepentingan politik pemerintah yang berkuasa. Jika proses dan produk pilkada berkualitas rendah yang rugi adalah masyarakat, rakyat, bangsa dan negara. Karena itu pemerintah mesti bertanggung atas kondisi tersebut. Di Sumbar tahun
Meski jadwal pendaftaran pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) tinggal menghitung hari, bahkan jam, namun secara umum konstelasi politik masih terus berubah-ubah. Anomali tersebut bukan kehendak para calon dan partai politik yang akan mengusung mereka. Tapi, lebih cendrung karena berubah-ubahnya aturan Pilkada dan juga keinginan partai pemerintah yang berkuasa membonsai kekuatan politik yang dianggapnya sebagai kompetitor.
Di Sumatera Barat terdapat 13 kota/kabupaten yang menyelenggarakan Pilkada secara serentak, plus Pemilihan Gubernur Sumbar. 13 kota/kabupaten tersebut adalah Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Agam, Kota Bukittinggi, Kabupaten Pasaman Barat, Pasaman, Limapulouh Kota, Tanah Datar, Solok, Solok Selatan, Sijunjung, Dharmasraya, Pessel, Kota Solok dan Pilgub Sumbar.
Skenario yang disiapkan pemerintah seperti itu, telah menyebabkan ketidakpastian pada pilkada hingga H-2 pendaftaran para calon di KPU jumlah pasangan calon yang telah mendaftar masih sangat minim. Belum tuntasnya konflik internal kepengurusan Partai Golkar dan PPP sangat memengaruhi konstelasi politik Pilkada.
Pasalnya Partai Golkar adalah partai pemenang pemilu. Begitu pula dengan PPP yang juga memiliki kursi cukup banyak di legislatif hingga kini pencalonan kadernya masih terus terkendala. Itu adalah akibat dualisme kepengurusan. Pemerintah terus berupaya menghalang-halangi sehingga kedua parpol tersebut tidak bisa mempersiapkan kadernya dengan baik untuk bisa bersaing dan memenangi Pilkada.
Pada sisi lain, tiga putusan Mahkamah Konstitusi (MK) juga berdampak luas pada Pilkada serentak tahun 2015. Putusan tersebut, langsung mengubah peta politik pilkada di berbagai provinsi dan kota/kabupaten di tanah air yang telah terbangun berbulan-bulan bahkan sejak satu tahun belakangan. Tak terkecuali pula peta politik pilkada di Pilgub Sumbar, dan pilkada 13 kabupaten/kota di Sumbar.
Keputusan MK itu adalah; pertama, anggota legislatif yang akan maju di pilkada mesti mengundurkan diri dari jabatan sebagai wakil rakyat. Kedua, keluarga petahana diperbolehkan maju atau mencalonkan diri di Pilkada. Ketiga, eks narapidana dengan ancaman hukuman di atas lima tahun dapat ikut mencalonkan diri pada Pilkada .
Keputusan pertama untuk menjawab keadilan, karena sebelumnya di Undang-Undang Pilkada dinyatakan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan TNI/Polri wajib mengundurkan diri dari status kepegawaiannya jika ingin mencalonkan diri di Pilkada. Keputusan kedua juga untuk memberikan keadilan bagi keluarga petahana. Karena membatasi hak keluarga petahana di Pilkada sama saja dengan mengingkari hak-hak dasar mereka. Keputusan ketiga juga untuk azas keadilan.
Tiga keputusan ‘sakti’ MK itu, disambut atau ditanggapi beragam oleh berbagai pihak. Ada yang sepakat dan ada pula yang tidak sependapat. Ada yang merasa diuntungkan dan ada pula yang merasa dirugikan. Yang sepakat karena keputusan MK dinilai lebih adil untuk berbagai pihak. Yang tidak sependapat karena putusan MK itu akan kembali menumbuhkembangkan perpolitikan dinasti di tanah air. Timming lahirnya keputusan itu juga tidak tepat, karena dapat merugikan para pihak yang telah berinvestasi politik di pilkada hingga rugi materi, waktu dan psikologis. **