Konflik dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak kerap terjadi pascapemungutan suara. Calon kepala daerah yang kalah banyak yang mencari-cari alasan melakukan protes.
Demikian dikemukakan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Juri Ardiantoro dalam diskusi yang digelar Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) bertema: Pilkada dan Kearifan Lokal; Meneguhkan Demokrasi KeIndonesiaan, di Wisma Persekutan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Jakarta, Jumat (26/6).
"Memang sebagian besar, konflik Pilkada yang melibatkan massa, lebih banyak muncul saat hasil pilkada diketahui. Konflik makin meningkat intensitasnya saat Pilkada kelihatan hasilnya," kata Juri. "Tadinya adem ayem, begitu Pilkada mulai kelihatan hasilnya, mulai diinventarisir pihak yang kalah," imbuhnya.
Dia menyatakan, KPU terus berusaha untuk meminimalisir konflik. Dengan demikian, kontestasi Pilkada tidak menimbulkan keramaian yang destruktif. "Tentu ada usaha mengurangi itu (konflik). Salah satu upaya mengurangi konflik itu, bagaimana Pilkada sejak awal dibuat transparan. Sehingga orang bisa memahami," katanya.
"Tapi memang ada kekhawatiran di Pilkada serentak ini. Dulu Pilkada yang dilakukan sendiri-sendiri masalahnya kompleks. Bagaimana Pilkada di 269 daerah ini? Jauh lebih kompleks," pungkasnya. Suara Pembaruan