Pilkada Tak Langsung, Penyelenggara Pemilu Murung

Pemilihan kepala daerah lewat DPRD menuai dampak bagi penyelenggara pemilu di tingkat daerah. KPUD dan Panwas daerah dinilai tidak ada pekerjaan.

"Kalau kepala daerah dipilih DPRD maka tidak lagi ada pekerjaan bagi penyelenggara pemilu dalam proses Pilkada," ujar Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahudin, kepada Republika, di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat, Ahad (28/9).

Said mengatakan pascaputusan Pilkada di DPRD, harus dipikirkan keberadaan lembaga-lembaga penyelenggara pemilu.

Dia menilai perlu ada peninjauan kembali (PK) efek dari perubahan sistem yang terkait dengan institusionalisasi.

Khususnya di lembaga penyelenggara pemilu seperti KPU dan Bawaslu termasuk DKPP sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggara pemilu. Meskipun ada pemikiran KPU dan Panwas daerah hendak dilibatkan dalam proses pemilihan. Namun, fungsi KPU dan Panwas untuk pemilihan umum bukan yang lain.

"Menurut saya adalah keliru jika KPU dan Panwas di daerah menjadi penyelenggara Pilkada DPRD, karena Pilkada bukan rezim pemilu," ujarnya.

Menurutnya, peninjauan KPU, Panwaslu dan DKPP seharusnya bukan muncul setelah pengesahan RUU Pilkada. Melainkan dampak dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97 Tahun 2013 yang menyatakan Pilkada bukan rezim pemilu.

Said menjelaskan pemilihan umum ada yakni langsung dan tidak langsung. Pemilu tidak langsung contohnya Pilpres oleh MPR sebelum amandemen UUD 1945 serta Pilkada oleh DPRD sebelum terbentuknya UU Nomor 32 Tahun 2004. Pemilu tersebut asasnya perwakilan.

Sedangkan pemilu langsung ada dua yakni rezim pemilu dan rezim nonpemilu. Contoh rezim pemilu Pilpres dan Pileg, pascaamandemen UUD 1945. Sementara contoh bukan rezim pemilu yakni Pilkades dan Pilkada setelah putusan MK Nomor 97 Tahun 2013.
Selengkapnya

Partai Demokrat Dukung Pilkada Langsung Pemilu 2019

Partai Demokrat (PD) sudah resmi menegaskan mendukung opsi pilkada langsung. Tudingan miring maupun acungan jempol didapatkan Demokrat usai menyatakan sikap, yang otomatis membuat partai besutan Susilo Bambang Yudhotono itu keluar dari kebersamaan ide dengan Koalisi Merah Putih. 

Dari Guru Besar Ilmu Politik Universitas Indonesia, Profesor Maswadi Rauf menilai, sikap Demokrat mendukung pilkada langsung belum bisa dinilai sebagai niat PD mendekati kubu (calon) penguasa. "Tuntutan masyarakat untuk pemilihan langsung begitu besar. SBY sebagai presiden merasakan itu, sehingga meminta partainya untuk mengubah sikap. Karena SBY yang berbicara, sudah pasti dipenuhi Demokrat," kata Maswadi, Rabu (17/9) malam.

Maswadi melihat, motif utama dari Demokrat sebenarnya bukan untuk mendekati Joko Widodo-Jusuf Kalla. Yang diinginkan Demokrat adalah simpati rakyat. Dengan sikap ini, maka publik yang mendukung Pilkada langsung akan bersimpati pada Demokrat.

"Jadi, ada investasi juga untuk kepentingan 2019," tandasnya.
Sebelumnya, ketegasan sikap Demokrat mendukung pilkada langsung dinyatakan Sekjen Partai Demokrat Edhie Baskoro Yudhoyono, Rabu (17/9) malam.

"Terkait polemik RUU Pilkada, Partai Demokrat setuju dengan napas reformasi dan pematangan demokrasi.  Intinya harus sejalan dengan pemikiran rakyat termasuk aspirasi kepala-kepala daerah yang menginginkan hak politik warga negara RI tidak boleh dipangkas," ujar Ibas.

Namun demikian Ibas mengingatkan bahwa perlu ada perbaikan-perbaikan dalam pasal RUU Pilkada yang berpotensi merusak demokrasi. "Hanya saja PD memandang perlu perbaikan-perbaikan secara terinci terkait pasal-pasal yang berpotensi menimbulkan ekses terhadap pilkada langsung tersebut," tambahnya.

Ibas juga mengajak seluruh pihak yang peduli dengan kemajuan demokrasi Indonesia untuk melihat secara jernih dan berorientasi pada kemajuan dan upaya pendewasaan berdemokrasi di Indonesia. "Mari kita berfikir jernih, melangkah ke depan dengan tekad untuk melakukan perbaikan dan penyempurnaan sistim demokrasi kita," ujarnya.

"Intinya, Partai Demokrat yang lahir dari roh demokrasi akan terus berkontribusi secara konkrit menjaga demokrasi senantiasa berada di arah yang benar sesuai dasar negara kita. Pak SBY dipilih secara langsung oleh rakyat untuk memimpin juga merupakan produk demokrasi kita yang kian berkembang positif," pungkas Ibas. (rmo/adk/jpnn)

Selengkapnya

Kontroversi RUU Pilkada Tidak Langsung dan Serentak

Tarik Menarik RUU Pilkada - Pagelaran Pilpres 2014 telah berakhir. Meski begitu, konstelasi suhu politik di Indonesia seakan belum juga menurun. Suasana 'panas' antar-poros koalisi parpol itu kini menyeruak dari dalam gedung Parlemen, DPR.

Di dalam gedung yang berbentuk kura-kura itu, fraksi-fraksi parpol tengah berdebat terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada. RUU yang sudah dibahas sejak 2012 lalu itu rencananya akan diputuskan pada September 2014.

RUU Pilkada ini diusulkan oleh pemerintah melalui Kemendagri. Menurut Ketua Panja RUU Pilkada, Abdul Hakam Naja, jika RUU ini disahkan maka akan berlaku pilkada serentak pada 2015.

Kondisi ini yang diharapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ketua KPU Husni Kamil Manik mengungkapkan, pelaksanaan pilkada serentak akan memberi dampak positif dalam pelaksanaan pemilu. Di antaranya ialah bisa menghemat biaya pemilu hingga 50 persen dalam 1 provinsi. Pada 2015, setidaknya ada202 daerah
 di Indonesia yang akan menggelar pilkada.

Selain itu, menurut Husni, dengan pilkada serentak KPU sebagai penyelenggara pemilu akan mudah dalan melakukan konsolidasi
pelaksanaan pilkada.

Ada tiga opsi mekanisme pemilihan kepala daerah yang dibahas dalam Panja RUU Pilkada tersebut. Pertama, pasangan gubernur, walikota, dan bupati dipilih langsung seperti sekarang. Kedua pasangan gubernur, walikota, dan bupati dipilih DPRD. Dan ketiga, gubernur dipilih langsung tetapi bupati dan walikota dipilih DPRD.

Yang menarik, parpol di Koalisi Merah Putih yang terdiri Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mendukung opsi kedua. Yaitu kepala daerah dipilih oleh DPRD. Padahal, sebelum Pilpres 2014, mereka masih mendukung penyelenggaraan pilkada secara langsung.

"Setelah Pilpres mungkin karena konstelasi politik berubah dan sebagainya, tiba-tiba mereka inginnya berubah menjadi (dipilih oleh) DPRD," kata Anggota Panja RUU Pilkada Abdul Malik Haramain di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis 4 September 2014.
Rawan Korupsi
Langkah Koalisi Merah Putih itu menimbulkan beragam tanggapan. Bahkan mereka dinilaimundur dalam berdemokrasi
. Lantas apa tanggapan partai pendukung opsi tersebut?

"Pilkada tak langsung bukanlah kemunduran
demokrasi, melainkan pengejawantahan murni sila ke-4 Pancasila‎ (Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan)," kata Sekjen PPP Romahurmuziy di Jakarta, Jumat 5 September 2014.

Romi, begitu ia biasa disapa, berujar PPP telah berkomitmen mendorong pilkada tak langsung sejak Mukernas II PPP di Medan, Sumatera Utara pada Januari 2012. Bahkan mengusulkan moratorium agar kembali kepada pilkada tak langsung. Ia pun mengungkapkan sejumlah alasan.

"Berkelindan (bercampur-baur) dengan high cost politics (politik berbiaya tinggi), sehingga hanya calon bermodal besar yang eligible(layak)," ujar dia.

Selain itu, lanjut Romi, selama 9 tahun pilkada langsung digelar, telah mengantarkan 292 atau 60% kepala daerah bermasalah secara hukum. Sedangkan sebelumnya, 60 tahun pilkada tak langsung tidak banyak persoalan hukum berarti. Nepotisme juga menjadi efek dari Pilkada langsung.

"Pilkada langsung rawan money politics(politik uang). Akibatnya, bukan merit system(sistem kecakapan) yang mendorong munculnya calon berkualitas. Ada uang abang disayang, tak ada uang abang melayang‎," beber Romi.

Hal senada disampaikan anggota Dewan Penasehat DPP Partai Gerindra Martin Hutabarat. Menurutnya, harus diakui pilkada langsung mengandung rawan korupsi
. Jika melalui DPRD, akan relatif lebih mudah diawasi dan dikontrol KPK. "Ini sesuai semangat pemberantasan korupsi."

Saat ini, kata dia, bukan menjadi rahasia lagi pengeluaran seorang calon kepala daerah untuk membiayai pertarungannya mencapai ratusan miliar pada tingkat Kabupaten dan Kota. Konsekuensinya, calon terpilih akan menggenjot balik modal dengan cara culas bila ia nanti terpilih.

"Berdasarkan data dari Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri), sudah ada 327 Bupati, Gubernur, hingga Walikota yang tersangkut korupsi selama pelaksanaan Pilkada langsung ini," jelas Martin.

Kedaulatan Rakyat

Beragam tanggapan terkait Pilkada tak langsung muncul dari sejumlah pihak. Presiden terpilih Jokowi menilai langkah yang dipilih Koalisi Merah Putih merupakan sebagai kemunduran berdemokrasi. Ini karena sangat berseberangan dengan perkembangan demokrasi yang saat ini sudah berjalan dengan baik.

"Ya mundur dong," ujar Jokowi usai menghadiri Kongres Pembangunan Desa di Hotel Grand Cempaka, Jakarta, Sabtu 6 September 2014.

Gubernur DKI yang lahir dari hasil Pilkada langsung ini menambahkan, banyak celah
yang terbuka dari aturan itu. Jika kepala daerah dipilih DPRD, tokoh pilihan rakyat yang benar-benar ingin bekerja untuk rakyat bisa saja tidak terpilih.

"Ya mungkin. Kalau pilihan rakyat yang nggak punya duit, bisa menang," ungkap Jokowi.

Tak hanya itu, Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahok juga tak sepakat dengan pilihan fraksi partainya di DPR. Menurutnya, Pilkada melalui DPRD akan menghasilkan praktik penyuapan
terhadap oknum anggota dewan. "Oknum DPRD kaya semua. Nyogok-nyogok terus," ucap dia.

Selain itu, DPRD dinilainya akan dapat mempengaruhi kepala daerah dalam menjalankan pemerintahan. Dan itu merupakan bagian dari sistem penjajahan
. "Ya matilah," cetus pria bernama lengkap Basuki Tjahaja Purnama tersebut.
Sejumlah pengamat mengaku tidak sregdengan pilihan Koalisi Merah Putih tersebut. Emrus Sihombing, pengamat politik dari Universitas Pelita Harapan (UPH) menilai, langkah tersebut merupakan pemerkosaan terhadap kedaulatan rakyat
. "Itu inkonstitusional," tegas dia.

Emrus menilai, langkah politik Koalisi Merah Putih tersebut sarat bermotif politik. Karena, bila itu disahkan akan ada banyak bupati dan gubernur dari koalisi tersebut kendati itu diperbolehkan. "Tapi jangan mengambil hak rakyat," tandas Emrus.

Bahkan, rencana Pilkada oleh DPRD
 sebagai hal yang dianggap bertentangan dengan sistem presidensial. Karena, usulan dalam RUU Pilkada tidak sinergis dengan Undang-Undang Dasar 1945.

"Konstitusi UUD 1945, bila kepala daerah dipilih DPRD tidak konstitusional dan tidak konsisten dengan bentuk pemerintahan presidensil. Dan jangan lupa juga, DPRD dalam konteks UUD 45, dipilih langsung," kata pengamat politik Ramlan Surbakti.

Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga ini menolak hal tersebut karena Indonesia sebuah negara republik, bukan kerajaan. "Di mana presiden tidak ada yang turun-temurun, namun dipilih rakyat," ujar dia.

Maka itu, tegas dia, jika sistem negara presidensial dan otonomi daerah, kepala daerah pun mesti satu sistem dengan pemerintah pusat.

"Waktu Pasal 18 ayat 4 itu diamandemen, mekanisme kepala daerah masih dipilih MPR. Jadi tidak disebutkan kepala daerah dipilih oleh DPRD, tetapi dipilih secara demokratik," imbuh dia.

Karena itu, menurut Ramlan, melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 kepala daerah dipilih langsung supaya konsisten dengan pusat. - (liputan6)

Selengkapnya

Parpol Koalisi Prabowo-Hatta Kepung Jokowi-JK

PDIP-Jokowi Tak Berkutik di Depan Koalisi Prabowo - Partai-partai politik pendukung bekas pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa bakal mengepung pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla. Mereka berupaya menguasai posisi krusial di DPR dan mendominasi suara mayoritas DPRD. “Kami akan sapu bersih,” kata Bambang Soesatyo, anggota Fraksi Golkar, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat, 6 September 2014. “Kami satu suara.” 

Mereka sudah berbagi kursi di DPR dan MPR. Golkar mengklaim sudah diplot menduduki kursi Ketua DPR. "Pastinya Golkar akan menjadi Ketua DPR," kata juru bicara koalisi sekaligus Wakil Sekretaris Jenderal Golkar, Tantowi Yahya. Ketua MPR akan ditunjuk dari Partai Demokrat. Paket wakilnya diambil dari Partai Gerindra, Partai Amanat Nasional, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Persatuan Pembangunan. (Baca:Sistem Pilkada Diubah, PDIP: Ini Kemunduran
)

Sesuai dengan tata tertib dan Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), pimpinan dan alat kelengkapan DPR dan DPRD dipilih melalui sistem paket. Nama lima calon diusung oleh fraksi-fraksi yang berbeda dan dipilih melalui voting. PDI Perjuangan masih berharap pada hasil uji materi yang mereka ajukan ke Mahkamah Konstitusi. Mereka ingin penentuan pimpinan DPR kembali ke aturan lama, yakni dijabat oleh peraih suara terbanyak dalam pemilu legislatif. 

Secara hitungan matematis, kursi koalisi PDI Perjuangan tak melampaui kubu Gerindra. PDI Perjuangan, yang ditopang tiga partai lain--Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Hanura, dan Partai NasDem--total memiliki 207 dari 560 kursi DPR. Mereka perlu satu partai lagi untuk memenuhi syarat paket lima orang pimpinan DPR. Demokrat memiliki 61 kursi netral. Sisa kursi lain diisi koalisi pro-Prabowo. (Baca: (Baca: Perebutan Kursi Ketua DPR, PDIP Coba Lobi Politik

Koalisi pro-Prabowo tidak hanya berupaya mendominasi DPR, tapi juga posisi krusial DPRD. Dari hasil pemilu lalu, koalisi ini menguasai kursi DPRD 31 provinsi. Padahal pemilihan kepala daerah dirancang melalui mekanisme DPRD, bukan oleh rakyat secara langsung. Aturan ini masih dibahas di DPR. Jika lolos, di atas kertas, koalisi Prabowo-Hatta bakal mengisi posisi kepala-kepala daerah. 

Fraksi PDI Perjuangan menganggap manuver kubu Prabowo tak akan membuahkan hasil. Wakil Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Eriko Sotarduga, optimistis pendukung Jokowi-Kalla di DPR melampaui separuh kursi DPR. "Di parlemen sekarang kami masih 34 persen,” katanya kepada Tempodalam acara temu fraksi di Hotel Dharmawangsa, Jakarta, kemarin. “Pasti nanti ada peningkatan." 

Eriko mengklaim sejumlah partai telah membuat kesepakatan baru dengan PDI Perjuangan yang akan diumumkan bertepatan dengan pembacaan putusan uji materi Undang-Undang MD3. "Secara etika kan sudah, mereka menyadari ada kepentingan yang sama dalam membangun bangsa." (Simak pula:Jokowi: Saya Jangan Diisolasi dari Rakyat 
)

Presiden terpilih Joko Widodo tak khawatir koalisi pro-Prabowo menjadi mayoritas di DPR. Jokowi tak menyiapkan strategi khusus karena koalisi adalah urusan partai dan tak menjamin programnya berjalan mulus. "Prinsipnya, saya terbuka saja. Kalau ada yang mau gabung, ya, silakan," katanya.

Wakil presiden terpilih Jusuf Kalla justru tak melihat hambatan terhadap pemerintah muncul dari DPR. Lembaga legislatif diyakini menjalankan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan secara proporsional. “Kalau fungsi itu dijalankan secara baik, tak ada upaya menjegal,” katanya di Universitas Al-Azhar Indonesia, Jakarta, Rabu pekan lalu. - Tempo

Selengkapnya

Daftar Para Calon Anggota Kabinet Jokowi-JK

Kandidat anggota kabinet presiden dan wakil presiden terpilih Joko Widodo-Jusuf Kalla yang dibuka di situs www.kabinetrakyat.org telah selesai. Sebanyak 42 calon anggota kabinet dijaring dalam pemilihan tersebut.

"Kami diterima Pak Jokowi pukul 08.30 WIB pagi tadi. Kami sudah sodorkan nama-nama ini ke beliau," ujar M Rahman, koordinator admin situs www.kabinetrakyat.org, seusai bertemu Jokowi di Balaikota, Jakarta, Kamis (4/9/2014).

Berikut daftar 42 kandidat calon anggota kabinet dengan keterpilihan tertinggi:

1. Menteri Pendidikan Nasional: Anies Baswedan dengan 3.032 pemilih.
2. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral: Poltak Sitanggang dengan 2.753 pemilih.
3. Menteri Perindustrian: Dahlan Iskan dengan 2.604 pemilih.
4. Jaksa Agung: Abraham Samad dengan 2.559 pemilih.
5. Menteri Sekretaris Negara: Maruarar Sirait 2.534 pemilih.
6. Menteri Kesehatan: Ribka Tjibtaning 2.379 pemilih.
7. Menteri Negara Lingkungan Hidup: Erwin Usman dengan 2.369 pemilih.
8. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif: Najwa Shihab dengan 2.346 pemilih.
9. Menteri Luar Negeri: Hikmahanto Juwana dengan 2.195 pemilih.
10. Kepala BNP2TKI: Anis Hidayah dengan 2.155 dengan pemilih.
11. Menteri Sosial: Khofifah Indar Parawansa dengan 2.127 pemilih.
12. Menteri Agama: Komarudin Hidayat dengan 2.111 pemilih.
13. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi: Rieke Diah Pitaloka dengan 2.109 pemilih.
14. Menteri Perumahan Rakyat: Mohammad Jehansyah Siregar dengan 2.102 pemilih.
15. Menteri Dalam Negeri: Basuki Tjahaja Purnama dengan 2.091 pemilih.
16. Menteri Perhubungan: Ignasius Jonan dengan 2.087 pemilih.
17. Menteri Riset dan Teknologi: Yohanes Surya dengan 2.067 pemilih.
18. Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat: Tri Rismaharini dengan 2.035 pemilih.
19. Menteri Pemuda dan Olahraga: Adian Napitupulu dengan 1.966 pemilih.
20. Menteri Komunikasi dan Informatika: Onno W Purba dengan 1.966 pemilih.
21. Menteri Koordinator Perekonomian: Faisal Basri dengan 1.897 pemilih.
22. Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal: Indra J Piliang dengan 1.894 pemilih.
23. Menteri Pertanian: Dwi Adreas Santosa dengan jumlah 1.888 pemilih.
24. Kepala Badan Pertanahan Negara (BPN): Usep Setiawan dengan 1.880 pemilih.
25. Menteri Hukum dan HAM: Zainal Arifin Muchtar dengan 1.863 pemilih.
26. Menteri Kelautan dan Perikanan: Hugua dengan 1.859 pemilih.
27. Menteri Pembangunan Perencanaan Negara/Bappenas: Agus Suhartono dengan 1.830 pemilih.
28. Menteri Perdagangan: Marie Elka Pangestu dengan 1.822 pemilih.
29. Menteri Keuangan: Hendrawan Supratikno dengan 1.777 pemilih.
30. Menteri Pekerjaan Umum: Marwan Jafar dengan 1.762 pemilih.
31. Menteri Pertahanan: Mayjen (Purn) TNI TB Hasanuddin dengan 1.759 pemilih.
32. Kepala Badan Intelijen Negara: As'ad Said Ali dengan 1.747 pemilih.
33. Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah: Budiman Sudjatmiko dengan 1.743 pemilih.
34. Kepala BKPM: Ichsanoodin Noorsy dengan jumlah 1.634 pemilih.
35. Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan: TNI (Purn) Luhut Binsar Pandjaitan dengan 1.624 pemilih.
36. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak: Wanda Hamidah dengan 1.584 pemilih.
37. Menteri Badan Usaha Milik Negara: Edwin H Sukowati dengan 1.567 pemilih.
38. Menteri Kehutanan: Chalid Muhammad dengan 1.493 pemilih.
39. Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi: Komarudin Watubun dengan 1.315 pemilih.
40. Sekretaris Kabinet: Pramono Anung Wibowo dengan 1.152 pemilih.
41. Ketua Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan: Budi Arie Setiadi dengan 928 pemilih.
42. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB): Eko Teguh Paripurno dengan 720 pemilih.

Berdasarkan statistik terhadap hasil jajak pendapat tersebut, kandidat menteri yang beragama Islam sebanyak 92 orang dan non-Muslim sebanyak 31 orang.

Berdasarkan usia, kandidat menteri yang memiliki usia 60 tahun ke atas sebanyak 11 orang, usia 50-59 tahun sebanyak 42 orang, usia 40-49 tahun sebanyak 48 orang, dan usia 30-39 tahun sebanyak 22 orang.

Dilihat dari latar belakang partai atau nonpartai, sebanyak 71 orang tidak berafiliasi dengan partai politik dan 51 orang berafiliasi dengan partai politik. Sebanyak 32 orang asal PDI-P, 13 orang dari Partai Nasdem, 6 orang dari PKB, dan satu orang asal Partai Hanura.

Jajak pendapat tersebut dimulai sejak 27 Juli 2014 pukul 03.00 WIB hingga 4 September 2014 pukul 00.01 WIB. Jajak pendapat digelar dengan metode satu akun Facebook untuk satu pos kementerian.

Polling memberikan ruang bagi masyarakat memilih usulan di luar daftar yang ditampilkan. Tercatat, jumlah kunjungan ke situs tersebut sebanyak 606.400 akun. Sebanyak 162.788 akun di antaranya memberikan pilihan.

Dari jumlah pemilih itu, sebanyak 105.812 pemilih berasal dari Indonesia. Sementara itu, sisanya berasal dari luar negeri, antara lain Malaysia, Singapura, Taiwan, Inggris, Amerika Serikat, Mesir, dan Arab Saudi.

Menurut Rahman polling kandidat menteri bagi kabinet Jokowi-JK merupakan bentuk partisipasi rakyat dalam membentuk pemerintahan.

"Jokowi berkali-kali minta agar seluruh rakyat Indonesia memberikan masukan, baik nama, kriteria, maupun arsitektur kabinet. Polling ini menjawab apa yang diminta Jokowi," ujar dia. Sumber: Kompas

Selengkapnya